Monday, July 15, 2013

Pacific Rim Review by iRenk


Salah satu alasan saya menyukai nonton film di bioskop adalah bioskop dapat memamerkan level tontonan dimana home theater tidak dapat samakan. Tak peduli berapa besar ukuran TV anda, dan tak peduli berapa biji speaker yang anda punya, tak ada yang bisa menggantikan apa yang bisa bioskop tawarkan (kecuali anda punya bioskop pribadi). Banyak film blockbuster mencoba memaksimalkan potensi layar raksasa di bioskop, tapi ini bukan masalah "lebih besar lebih baik". Harus ada bobot dan detil serta bagaimana semua terangkai hingga bisa mengantar kita ke dunia yang berbeda. Pada Pacific Rim, sutradara dan co-writer Guillermo del Toro tidak hanya telah mendobrak batas tingkatan ukuran yang bisa kita tonton di bioskop, tetapi juga menyuguhkan dasar pemikiran imajinatif tentang bagaimana monster dan robot bergulat ke arah dunia yang lebih nyata dan berwarna-warni. Sayangnya, dunia tersebut berjuang untuk sesuatu yang minim plot dan tipis akan karakter.

Loncat saja jika ingin melanjutkan membaca.



Berkisah pada tahun 2025, selama tujuh tahun manusia telah melawan monster alien raksasa yang disebut "Kaiju", muncul dari portal di kedalaman laut pasifik. Agar bisa melawan balik, seluruh dunia bekerja sama untuk membangun robot raksasa "Jaeger" yang membutuhkan dua pilot menghubungkan pikiran mereka untuk mengoperasikan mesin. Namun, serangan dari Kaiju semakin tidak bisa dikendalikan, dan program Jaeger ada di ujung tanduk. Mantan pilot Raleigh Beckett (Charlie Hunnam) sebenarnya ogah-ogahan untuk diajak kembali ke program Jaeger oleh pengawas projek Stacker Pentecost (Idris Elba) sebagai harapan terakhir melawan Kaiju. Dengan bantuan calon pilot Mako Mori (Rinko Kikuchi), Raleigh mencoba melawan kaiju dengan bantuan Jaeger dari negara-negara lain. Sementara Dr.Newton Geizler (Charlie Day) sedang berburu otak Kaiju, karena meyakini dapat memberikan kunci untuk menutup portal di laut pasifik.

Filmnya tidak pernah berhenti memberi decak kagum dengan skala dan kekuatan saat pertarungan antara Jaeger dan Kaiju, hingga Ini membuat Autobot dan Decepticon milik Transformers terlihat seperti kecil bila dibandingkan, dan sebagian karena del Toro mengerti sekali fisik yang diinginkan untuk pertarungannya. Bukan hanya karena semua memiliki berat hingga kita bisa merasakan tiap pukulannya, tetapi juga karena pertarungannya menyerupai gulat daripada pertarungan cepat, satu pukulan selesai. Ini pertempuran habis-habisan, dan saya juga kaget saat betapa sakit yang saya rasakan walau yang terkena pukulan adalah robot raksasa.

Sedihnya perasaan empati tersebut lebih menarik dari pada perasaan saya terhadap pilot yang mengendalikannya. Masing-masing "mecha" , tak peduli seberapa jarang kita lihat, memiliki pribadi sendiri-sendiri. Mereka memiliki nama yang keren seperti "Gipsy Danger" atau "Striker Eurika"; mereka bukan hasil pabrikan, namun membawa ciri khas kebangsaan masing-masing, seperti Jaeger milik Rusia yang mengagumkan Cherno Alpha sebagai lawan dari gambar pesawat pembom perang dunia II milik Gipsy Danger. Bahkan "tato" di masing-masing kepalan Gipsy Danger memiliki gambar berbeda. Sentuhan yang bagus mengingat skalanya yang besar dan anda melihatnya saat mengayunkan pukulan ke muka Kaiju.

Lucunya hal-hal kecil seperti ini coba dibawa del Toro ke tokoh manusianya. Semua memiliki nama yang menggelikan juga, seperti Hercules Henson (Max Martini) dan Hannibal Chau (Ron Perlman). Memang sepele namun tampilan unik seperti highlight warna biru milik Mako Mori, tato kaiju di kedua tangan Geizler dan Chau si penjual organ Kaiju dengan bajunya yang bercorak mencolok. Semua hal kecil ini membawa warna tersendiri untuk film ini, tetapi ini hanya karakteristik belaka. Bukan karakter.

Yang mengejutkan, untuk seorang filmmaker yang selalu memberikan kedalaman dan perhatian untuk karakternya, del Toro sangat meremehkan tokoh protagonisnya. Beckett bakal menjadi tokoh heroik yang sangat mudah dilupakan kalau saja ke-lemah lembut-annya tidak menonjol. Saya denger dari teman bahwa Hunnam sangat bagus di serial drama Sons of Anarchy, tapi disini terlihat kurang menarik. Dia membaca dialog terlalu antusias dan masa lalu emosionalnya - kehilangan saudaranya saat bertarung dengan Kaiju- tidak pernah terselesaikan. Dia berhenti selama lima tahun, Pentecost merekrutnya kembali, dan Beckett meninggalkan ketakutan dan keraguannya. Yang paling terlihat, dia seperti cheerleader untuk Mori, yang membuatnya bersitegang dengan Pentecost yang over protektif.


Hanya satu hal yang membuat karakter Beckett, setidaknya kata-kata yang dilontarkannya membantu peran yang dibawakan Kikuchi dan Elba memperbaiki keadaan. Mori adalah sosok yang manis, tekun dan kita bisa melihat kenapa Beckett bisa tertarik untuk menjadikannya pendamping untuk mengoperasikan mesin Jaeger walaupun keduanya tidak memilki hubungan -ikatan emosional dibutuhkan untuk mengendalikan Jaeger yang disebut "the Drift", bisa dibilang sebagi jalan pintas yang dipaksakan karena hanya sebatas kumpulan gambar-gambar dari masa lalu dan masing-masing pilot bisa melihat memori satu sama lain. Walaupun keseluruhan asal usul mereka tidak diceritakan, hanya chemistry dari keduanya-lah yang kita butuhkan. Peran Elba sangat membantu juga karena di setiap adegan selalu memberi perintah, lebih mengerikan dari pada semua Kaiju.

Tapi kita pernah melihat hubungan seperti ini sebelumnya, dan sikap acuh tak acuh mereka. Mereka seperti secolek lem yang menghubungkan kita ke dunia yang bersinar rekaan del Toro dan co-writer Travis Beacham. Tetapi del Toro berhasil membawa kita kepada kehebohan dengan melihat pertempuran modern antara robot raksasa berteknologi tinggi melawan monster raksasa klasik. Peristiwa malang yang kita harapkan di Pacific Rim pada cerita yang bisa ditebak ini dirancang untuk mengantarkan kita ke set piece. Set piece ini memang layak untuk dipuji.

Adegan-adegan ini kebahagian murni untuk para pecinta adegan aksi. Walau miskin akan cerita, setidaknya bisa ditutupi dengan adegan aksi terbaik sejauh yang telah del Toro rancang. Kita memang tidak begitu peduli dengan pilotnya, tetapi apa yang mereka kendalikan dan cara mereka mengendalikan benar-benar menakjubkan. Del Toro tidak hanya mengisi layar dengan hasil ciptaannya, tetapi juga konsisten dengan geografisnya. Ini bukan tabrakan anggota badan belaka dan kita asumsikan sebagai pukulan. Setiap tinju bisa kita lihat dan dampaknya bisa kita rasakan. Dan saat del Toro menunjukkan senjata rahasia masing-masing Jaeger dan Kaiju, bisa membawa sorak penonton (setidaknya saat saya menonton di IMAX 3D). Melihat aksi spektakuler ini, membuat saya berpikir sungguh mengecewakan kalau menonton Pacific Rim di format selain layar lebar atau bioskop (efek paska konversi 3D nya lumayan; tidak begitu membantu juga tidak memperburuk).

Pada kesimpulannya, Pacific Rim adalah film yang mengasyikkan, menyenangkan dan sebagai pengingat kenapa kita harus datang di bioskop, kita datang untuk ditakjubkan. Layar raksasa itu punya kekuatan besar, dan benar-benar layak saat mempertunjukkan sesuatu yang megah dan menggelegar. Banyak film musim panas blockbuster yang menawarkan hiburan "raksasa", tetapi materialnya masih bisa di terjemahkan ke home theater yang layak. Pacific Rim adalah pengalaman blockbuster paling menakjubkan, menegangkan dan membuat anda menahan nafas panjang. Andai saja karakternya bisa menyamakan.








No comments:

Post a Comment